KPK telah petakan profil kandidat di Pemilukada 2018 termasuk di kaltim untuk meminimalisasi konflik kepentingan ketika kandidat terpilih.
Studi mengenai pendanaan pilkada penting dilakukan untuk menentukan strategi pencegahan korupsi yang akan dilakukan oleh KPK terutama terhadap Kepala Daerah terpilih, agar tidak terjerumus pada benturan kepentingan yang mengakibatkan korupsi. Pada pemilukada serentak tahun 2015 KPK telah melakukan studi mendalam terkait hal tersebut Studi Potensi Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada dengan beberapa temuan umum sebagai berikut :
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan kedaulatan rakyat yang demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Melalui Pilkada langsung, masyarakat dapat menilai langsung kualitas calon kepala daerah meliputi kompetensi, integritas, dan kapabilitasnya. Proses pencalonan dan pemilihan menentukan kualitas dan integritas Kepala Daerah terpilih.
Fakta menunjukkan bahwa pelanggaran pada Pilkada serentak tahun 2015 lalu terjadi sejak sebelum pencalonan (pemutakhiran data), pencalonan, kampanye, masa tenang, pemungutan suara, hingga rekapitulasi.1 Permasalahan yang ditemui hampir pada setiap tahapan adalah masalah money politik. Laporan Bawaslu menunjukkan, money politik terjadi pada : 1) Proses pencalonan, terdapat proses penyerahan uang saat menjelang pendaftaran calon dan pemberian uang mahar; 2) Saat kampanye, terjadi politik uang di 21 kabupaten pada 10 provinsi; 3) Saat masa tenang, sebanyak 311 kasus money politik di 25 Kab/kota pada 16 Provinsi, 4) Saat pemilihan, terjadi 90 kasus money politik di 22 Kabupaten pada 12 provinsi
Politik uang yang masih ditemukan dalam Pilkada diduga menjadi salah satu penyebab biaya Pilkada yang harus dikeluarkan oleh calon Kepala Daerah menjadi sangat besar. Hasil kajian Litbang Kemendagri menunjukkan bahwa untuk menjadi Walikota/Bupati dibutuhkan biaya mencapai 20-30 Milyar, sementara untuk menjadi Gubernur berkisar 20-100 Milyar. Hal yang sama diungkapkan oleh Dadang S Mochtar (mantan Bupati Karawang), bahwa untuk menjadi Bupati di Pulau Jawa biaya politik yang harus dikeluarkan mencapai Rp. 100 Milyar. Bahkan biaya untuk menjadi Kepala Daerah lebih besar apabila dibandingkan dengan biaya menjadi anggota dewan yang hanya mencapai Rp. 300 juta – 6 Milyar.
Besaran biaya yang dibutuhkan tidak seimbang dengan kemampuan yang dimiliki oleh para calon Kepala Daerah. Berdasarkan laporan LHKPN, rata-rata total harta kekayaan calon Kepala Daerah hanya mencapai Rp. 6,7 Milyar. Bahkan terdapat 3 orang memiliki harta Rp.0, – dan 18 orang lainnya memiliki harta negatif.
Kini menyambut tahun politik pemilukada serentak tahun 2018 sebagaimana dirilis KPK pada konferensi pers terkait kinerja KPK tahun 2017, KPK telah memetakan potensi benturan kepentingan terkait pendanaan pilkada. Tujuannya, untuk mengetahui profil, potensi benturan kepentingan dan besaran biaya, hingga potensi penyalahgunaan dana anggaran daerah di tangan kepala daerah terpilih nantinya guna pencegahan tindak pidana korupsi.
Diantara pemetaan tersebut terkait dengan tindak lanjut studi KPK pada pemilukada serentak tahun 2015 yaitu mengenai Berapakah besaran dana yang telah dikeluarkan dari mulai pencalonan diri hingga keputusan KPU tentang penetapan pemenang ? Apakah ada hubungan antara kekayaan pasangan calon terhadap kemenangan Pilkada? Dari mana sajakah sumber pendanaan yang diperoleh oleh para calon kepala daerah? Apakah konsekuensi/ timbal balik yang diharapkan oleh para pemberi sumbangan/donatur baik melalui kebijakan anggaran seperti dana hibah/bansos, kemudahan mendapatkan proyek, jaminan keamanan hingga konsesi-konsesi perijinan pertambangan, perkebunan dan kehutanan? Apakah adanya Calon Petahana/ dinasti politik memiliki korelasi terhadap besaran dana APBD? Apakah potensi kekayaan yang dimiliki oleh suatu daerah berpengaruh terhadap tingkat partisipasi para pasangan calon mengikuti Pilkada. dan terutama adalah Mengidentifikasi potensi benturan kepentingan antara penyokong / pendukung / donatur dana Pilkada dengan Cakada terpilih nantinya.
Apalagi sebagaimana diketahui ada beberapa persoalan sistemik dalam dunia politik Indonesia secara nasional juga didaerah-daerah dengan tingkat kerentanan perilaku koruptif masih tingi dikarenakan masalah utama pertama terkait integritas Parpol yakni tidak adanya standar etika partai politik dan politisi, serta standar rekrutmen kader. Di tahun 2017, KPK masih juga mendapati kepatuhan pelaporan harta oleh anggota legislatif di daerah masih rendah yaitu sekitar 28%. Sepanjang tahun 2017, KPK telah menerima 245.815 LHKPN, yang terdiri dari 78,69 persen dari 252,446 wajib lapor di tingkat eksekutif, sebanyak 30,96 persen dari 14,144 wajib lapor di tingkat legislatif, 94,67 persen dari 19,721 wajib lapor di tingkat yudikatif, dan 82,49 persen dari 29,250 wajib lapor BUMN/BUMD.
Menurut beberapa sumber terpercaya, KPK akan semaksimal mungkin melakukan pencegahan potensi tindak pidana korupsi para bakal calon atau para calon kepala daerah nantinya sebelum mereka terpilih di pemilukada serentak tahun 2018, melalui eliminasi potensi tersebut sedari dini sebelum mereka benar-benar terpilih nantinya. Permintaan komisi III DPR RI pada saat rapat kerja dengan KPK beberapa bulan yang lalu agar KPK tidak menindak bakal calon atau calon kepala daerah pada proses pemilukada yang sedang berjalan http://nasional.kompas.com/read/2017/09/12/15185581/aziz-minta-kpk-jaga-kerahasiaan-agar-tak-ganggu-elektabilitas-calon-kepala tampaknya hanya bertepuk sebelah tangan karena selang beberapa hari dan minggu kemudian, KPK tetap menangkap dan menindak serta memproses para bakal calon dan calon pemilukada di beberapa daerah termasuk di kaltim (Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara.red) terkait dugaan tindak pidana korupsi.
berita terkait lainnya……
Jelang Pilkada Serentak 2018, KPK-Polri Akan Bentuk Satgas “Money Politic”
siaran pers capaian dan kinerja KPK tahun 2017 https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/4139-capaian-dan-kinerja-kpk-di-tahun-2017 KPK mencatat alokasi dana APBD yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat , pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBD sudah “diatur” sejak perencanaan.