Dalam Pasal 6 ayat (3) huruf e UU KIP disebutkan:
“Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.”
Sementar itu, dalam bagian Penjelasan pasal ini disebutkan:
“Yang dimaksud dengan “Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan” adalah Badan Publik secara nyata belum menguasai dan/atau mendokumentasikan Informasi Publik dimaksud.”
Ada dua hal yang sebenarnya perlu kembali diperjelas dalam pasal ini. Pertama, Apakah makna dikuasai dan didokumentasikan itu sama. Kedua, kapan hal ini menjadi relevan sebagai alasan untuk tidak memberikan informasi.
Dikuasai dan Didokumentasikan
Dikuasai sebenarnya makna lain dari dipegang, disimpan atau berada di badan publik bersangkutan. Informasi yang dikuasai bisa berasal dari internal badan publik maupun dari eksternal badan publik. Dikuasai ini mengacu pada dimana letak atau posisi sebuah dokumen.
Sementara didokumentasikan menunjukkan bahwa informasi tersebut berada di bawah penguasaan badan publik bersangkutan bukan dari eksternal badan publik. Dokumentasi ini sebenarnya mengacu pada bentuk atau kondisi sebuah dokumen. Sudah didokumentasikan berarti sudah dikemas atau diformat dan sudah resmi, sudah sah, atau sudah diotorisasi.
Relevansi Alasan
Bisakah badan publik menjadikan ini sebagai alasan untuk tidak memberikan informasi? Bisa. Tetapi tidak selamanya alasan itu relevan. Hal ini antara lain tergantung pada konsekuensi dari informasi tersebut. Contoh: Ketika sebuah UU telah disahkan, maka seharusnya secara serta merta diumumkan. Demikian pula dengan dokumen-dokumen pendukung yang sifatnya wajib tersedia setiap saat, seharusnya juga telah siap diberikan ketika ada permintaan.
Tidak tepat badan publik mengatakan tidak dapat memberikan UU karena belum selesai didokumentasikan, padahal UU tersebut telah disahkan. Sebab ketika sebuah hukum telah disahkan dan diberlakukan, maka setiap orang dianggap mengetahui hukum (Iedereen wordht geacht de wet te kennen) atau disebut juga asas fictie (fiksi) hukum. Oleh karena itu, ketidaktahuan akan undang-undang bukan merupakan alasan pembenar untuk melakukan sebuah pelanggaran (Ignorantia legis excusat niminem).
Bagaimana dengan sebuah dokumen pendukung yang memang memerlukan waktu pendokumentasian? Misalnya: Notulensi atau risalah rapat terakhir ketika pengesahan RUU tersebut? Dalam hal ini, seharusnya badan publik memiliki aturan batas maksimal pendokumentasian, tidak lebih dari 10 + 7 hari kerja, agar hak publik atas informasi tetap terpenuhi.
Jadi, bukan semau badan publik dalam menentukan waktu pendokumentasian apalagi mengabaikannya. Jika hal ini dilakukan, maka badan publik berpotensi terjerat Pasal 84 UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.
Pejabat yang dengan sengaja tidak melaksanakan pemberkasan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jika proses pendokumentasian memang benar-benar memerlukan waktu melebihi ketentuan UU KIP, maka sebaiknya diatur secara khusus dalam peraturan internal. Ini yang disebut sebagai pengecualian prosedural. Namun, harus dipastikan bahwa pengaturan batas waktu itu dapat dipertanggungjawabkan di majelis Hakim Komisi Informasi, jika terjadi sengketa informasi publik.
Arbain FOI